Kasus pemalakan terhadap sebuah perusahaan minyak goreng di Medan menghebohkan publik. Bukan sekadar pungli biasa, praktik ini dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan organisasi kemasyarakatan (ormas). Ironisnya, uang hasil pemerasan tersebut kabarnya digunakan untuk membiayai acara ulang tahun ormas tersebut. Peristiwa ini menambah daftar panjang persoalan premanisme yang menyusup ke sektor industri.
Menurut keterangan dari pihak kepolisian, praktik pemerasan ini sudah berlangsung selama beberapa waktu. Para pelaku mendatangi perusahaan dan memaksa pihak manajemen untuk menyerahkan sejumlah uang dengan dalih sumbangan. Jumlahnya tidak main-main, mencapai jutaan rupiah. Jika perusahaan menolak, mereka diancam akan “dibuat repot” oleh massa.
Kapolda Sumatera Utara, Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi, membenarkan adanya laporan terkait dugaan pemerasan ini. “Kami tidak akan mentoleransi tindakan premanisme dalam bentuk apa pun, apalagi sampai mengganggu kegiatan ekonomi,” tegasnya. Polisi saat ini telah menahan empat orang yang diduga terlibat dalam pemalakan tersebut, dan proses hukum terus berjalan.
Kabar bahwa uang hasil pungli digunakan untuk biaya ulang tahun ormas menjadi pemicu kemarahan warganet. Banyak pihak menilai bahwa tindakan tersebut sangat tidak etis dan mencederai citra ormas yang seharusnya menjadi wadah pemberdayaan masyarakat, bukan alat untuk mencari keuntungan pribadi. Pemerintah daerah pun diminta turun tangan agar kejadian serupa tak terulang di masa depan.
Kejadian ini menjadi pelajaran penting bahwa praktik premanisme yang berkedok ormas masih menjadi ancaman nyata bagi pelaku usaha. “Kami berharap aparat penegak hukum bisa bertindak cepat dan tegas, agar iklim usaha tetap kondusif,” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey. Ia menegaskan, perlindungan terhadap dunia usaha harus menjadi prioritas demi menjaga roda perekonomian tetap berputar stabil.