Thaksin Shinawatra, mantan Perdana Menteri Thailand periode 2001-2006, kembali menjadi pusat perhatian setelah diumumkan sebagai anggota dewan penasihat Danantara, dana kekayaan negara Indonesia yang baru dibentuk. Penunjukan ini menuai beragam reaksi, mengingat rekam jejak kontroversial Thaksin di kancah politik dan bisnis internasional.
Sebelum terjun ke dunia politik, Thaksin dikenal sebagai pengusaha sukses dan sempat menjadi salah satu individu terkaya di Thailand. Namun, masa jabatannya sebagai perdana menteri diwarnai berbagai kontroversi, termasuk tuduhan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. Pada 2006, ia digulingkan melalui kudeta militer dan sejak itu hidup di pengasingan untuk menghindari tuntutan hukum di negaranya.
Danantara, yang bertujuan mengelola aset negara senilai lebih dari $900 miliar, juga menggaet tokoh-tokoh internasional lainnya sebagai penasihat, seperti ekonom Jeffrey Sachs dan manajer hedge fund Ray Dalio. Langkah ini diambil untuk membantu Presiden Prabowo Subianto mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029. Meski demikian, pengumuman susunan dewan penasihat ini memicu kekhawatiran pasar akan potensi intervensi politik dalam pengelolaan dana tersebut, yang berujung pada aksi jual di pasar saham.
Penunjukan Thaksin sebagai penasihat Danantara menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya terhadap persepsi publik dan investor. Beberapa pihak mempertanyakan apakah keterlibatan tokoh dengan latar belakang kontroversial dapat mempengaruhi transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana tersebut.
Sebagai respons, pihak Danantara menegaskan bahwa pemilihan anggota dewan penasihat didasarkan pada pengalaman dan keahlian mereka di bidang ekonomi dan investasi global. Mereka berharap, dengan bimbingan dari para penasihat berkaliber internasional, Danantara dapat mencapai tujuannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia secara signifikan.