Di beberapa daerah di Indonesia, terdapat tradisi unik yang dikenal sebagai “Tarawih Kilat”, di mana shalat tarawih 23 rakaat dilaksanakan hanya dalam waktu sekitar 7 hingga 10 menit. Tradisi ini telah ada sejak tahun 1907 dan menjadi ciri khas di beberapa masjid tertentu.
Misalnya, di Blitar, Jawa Timur, praktik tarawih kilat ini telah berlangsung sejak tahun 1907. Dalam pelaksanaannya, shalat tarawih 23 rakaat, termasuk witir, diselesaikan dalam waktu sekitar 7 menit. Kecepatan ini dicapai dengan membaca surat-surat pendek dan mempercepat gerakan shalat tanpa mengurangi rukun-rukun yang wajib.
Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini mulai ditinggalkan. Di Indramayu, misalnya, shalat tarawih kilat 7 menit tidak lagi dilakukan karena tidak ada penerus imam yang mampu melanjutkan tradisi tersebut. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Quraniyah Indramayu mengungkapkan bahwa selain faktor penerus, perubahan pandangan masyarakat terhadap kualitas ibadah juga mempengaruhi hilangnya tradisi ini.
Perubahan ini mencerminkan dinamika dalam praktik keagamaan di Indonesia, di mana masyarakat semakin menekankan kualitas dan kekhusyukan dalam beribadah. Meskipun tradisi tarawih kilat memiliki nilai sejarah dan budaya, adaptasi terhadap pemahaman keagamaan yang berkembang membuat praktik ini mulai ditinggalkan.
Dengan demikian, tarawih kilat yang pernah menjadi bagian dari kekayaan tradisi Islam di Indonesia kini mulai pudar seiring dengan perubahan zaman dan pemahaman masyarakat terhadap esensi ibadah.