Oleh : Ustadz Aris Budi Sismansyah – Da’i Muda Maluku Utara
Dalam perjalanan hidup yang penuh warna ini, keimanan seseorang tak hanya terukur dari seberapa sering ia tersenyum dalam kelapangan, tetapi lebih dalam lagi, bagaimana ia mampu bertahan dan tetap teguh saat badai kesulitan datang menerpa. Iman yang kokoh justru tampak jelas bukan ketika seseorang sedang berada di puncak kebahagiaan, melainkan saat ia diuji dengan luka, kesempitan, dan kehilangan.
Seorang mukmin sejati akan memandang segala peristiwa dalam hidupnya—baik nikmat maupun musibah—sebagai kesempatan meraih keridhaan Allah. Ia tidak hanya bersyukur ketika mendapatkan karunia, tetapi juga bersabar saat menghadapi ujian. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, karena seluruh urusannya adalah kebaikan baginya. Jika mendapat nikmat, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Dan jika tertimpa musibah, ia bersabar, maka itu pun baik baginya.” (HR. Muslim).
Syukur: Jalan Menuju Kerendahan Hati
Rasa syukur bukan sekadar ucapan “Alhamdulillah” yang terucap di lisan. Syukur yang hakiki bersemayam di hati dan tercermin dalam perilaku. Ia membuat seseorang tidak mudah takabur atau menganggap bahwa semua yang dimilikinya adalah hasil kerja keras semata. Sebaliknya, syukur menjadikan seseorang menyadari bahwa setiap keberhasilan adalah anugerah dari Allah SWT yang tidak pernah lepas dari kasih sayang-Nya.
Syukur melatih kita untuk tidak silau pada pencapaian duniawi semata. Ia menyuburkan sifat qana’ah, atau merasa cukup. Ketika kita bersyukur atas sedikit, maka hati pun akan terasa lapang. Dan menariknya, Allah menjanjikan bahwa siapa yang bersyukur, maka nikmatnya akan ditambah. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu…” (QS. Ibrahim: 7).
Sabar: Pondasi Keteguhan Jiwa
Jika syukur adalah respons atas nikmat, maka sabar adalah keteguhan dalam menghadapi kekurangan, kehilangan, dan cobaan. Sabar bukan berarti lemah, menyerah, atau pasrah tanpa usaha. Justru sabar adalah kekuatan tertinggi yang dimiliki seorang mukmin. Ia adalah kemampuan menahan amarah, menahan diri dari keluh kesah, dan tetap istiqamah di jalan yang benar, walau langkah terasa berat.
Dalam konteks kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tekanan, sabar menjadi nilai yang sangat langka. Kita terbiasa ingin segala hal serba instan. Padahal, kesabaran adalah kunci untuk mencapai hal-hal besar. Allah SWT pun menjanjikan bahwa balasan bagi orang-orang yang bersabar tidak terbatas: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10).
Keseimbangan Hati: Ketika Syukur dan Sabar Beriringan
Syukur dan sabar ibarat dua sayap bagi burung yang ingin terbang tinggi dalam penghambaan kepada Allah. Keduanya tak bisa dipisahkan. Tanpa syukur, nikmat tak terasa membahagiakan. Tanpa sabar, ujian menjadi beban yang tak tertahankan. Ketika keduanya hadir dalam hati, muncullah jiwa yang lapang, hati yang ikhlas, dan keteguhan dalam menapaki setiap jejak takdir yang Allah tetapkan.
Dalam hidup ini, tidak selamanya kita berada di atas. Ada kalanya kita harus merangkak dari bawah, menangis dalam sepi, atau merasa terombang-ambing tanpa arah. Namun, selama syukur dan sabar hadir dalam hati, kita tidak akan pernah benar-benar kehilangan pegangan. Kita tetap akan berdiri, meski dunia mencoba menjatuhkan. Kita tetap tersenyum, meski hidup memberi luka.
Ridha: Puncak Keimanan
Pada akhirnya, baik syukur maupun sabar akan membawa kita kepada satu titik puncak spiritual tertinggi: ridha. Yaitu menerima dengan lapang dada apapun ketetapan Allah, tanpa keluh, tanpa protes, dan tanpa dendam. Ridha membuat kita melihat segala peristiwa dengan kacamata akhirat. Tidak semua yang kita anggap baik itu membawa keberkahan, dan tidak semua yang menyakitkan itu pertanda keburukan.
Kebahagiaan sejati bukan terletak pada jumlah harta yang dimiliki, kenyamanan hidup, atau popularitas. Kebahagiaan terletak pada hati yang tenang, yang mampu menerima takdir Allah dengan penuh syukur dan sabar. Hati yang tidak mudah goyah oleh pujian ataupun cercaan. Hati yang yakin bahwa segala sesuatu terjadi atas izin dan perkenan Allah, dan bahwa setiap takdir selalu mengandung hikmah yang dalam.
Penutup: Melatih Diri dalam Dua Pilar Iman
Mari kita jadikan syukur dan sabar sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Latih diri kita untuk senantiasa bersyukur atas nikmat sekecil apapun. Didik jiwa kita untuk bersabar dalam menghadapi kesulitan, sekecil apapun ujiannya. Jangan tunggu kesempurnaan hidup untuk bersyukur, dan jangan tunggu ujian besar untuk belajar sabar. Mulailah sekarang, dari hal-hal sederhana.
Semoga Allah SWT menjadikan kita hamba-hamba yang senantiasa bersyukur dalam kelapangan, bersabar dalam kesempitan, dan ridha atas segala ketetapan-Nya. Sebab hanya dengan hati yang bersih dan kuatlah, kita bisa menghadapi dunia ini dengan tenang, dan menapaki akhirat dengan penuh harapan. Aamiin.