Pada 25 Maret 2025, Rusia dan Ukraina mencapai kesepakatan untuk menghentikan penggunaan kekuatan di Laut Hitam setelah negosiasi dengan mediator dari AS dan Arab Saudi. Namun, Rusia menetapkan bahwa gencatan senjata ini hanya akan dimulai jika sanksi terhadap ekspor pertanian mereka dicabut. Kesepakatan ini juga mencakup penghentian serangan terhadap jaringan energi selama 30 hari, meskipun isu teritorial masih belum terselesaikan.
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa AS membahas pembagian wilayah Ukraina dengan Rusia tanpa keterlibatan Kyiv. Sementara itu, Rusia menuntut pencabutan sanksi terhadap Bank Pertanian Rusia dan pemulihan akses ke sistem pembayaran Swift sebagai bagian dari kesepakatan.
Gencatan senjata ini awalnya akan diawasi oleh kedua belah pihak, dengan kemungkinan keterlibatan negara-negara seperti Turki atau Arab Saudi untuk memastikan kepatuhan. Meskipun belum ada kesepakatan untuk gencatan senjata penuh, kedua negara berkomitmen melanjutkan diskusi menuju perdamaian jangka panjang.
Sebelumnya, Presiden Rusia Vladimir Putin menolak gencatan senjata menyeluruh di Ukraina, tetapi setuju untuk menghentikan serangan terhadap infrastruktur energi. Dalam pembicaraannya dengan Presiden AS Donald Trump, Putin menyatakan bahwa gencatan senjata hanya bisa berhasil jika bantuan militer asing ke Ukraina dihentikan, syarat yang ditolak oleh sekutu Eropa Kyiv.
Meskipun ada kemajuan dalam negosiasi, beberapa isu utama tetap belum terselesaikan. Kremlin mengaitkan implementasi kesepakatan dengan pencabutan sanksi Barat tertentu. AS menyatakan kesediaannya untuk memulihkan akses Rusia ke pasar global untuk ekspor pertanian dan pupuk, tetapi keputusan ini dikritik oleh Ukraina karena bisa melemahkan posisi mereka dalam negosiasi jangka panjang.