
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menyaksikan dinamika baru dalam relasi sipil dan militer. Keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam sektor-sektor non-pertahanan, mulai dari pengelolaan proyek strategis hingga jabatan di BUMN, menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah ini langkah strategis demi stabilitas nasional, atau justru ancaman bagi konsolidasi demokrasi?
Keterlibatan militer dalam ranah sipil sering dibingkai sebagai solusi atas kelemahan birokrasi. Militer dianggap lebih disiplin, efisien, dan mampu bergerak cepat. Pemerintah pun kerap mengedepankan narasi “efektivitas” dan “keamanan nasional” untuk melegitimasi kehadiran perwira aktif maupun purnawirawan di posisi strategis sipil. Dalam konteks ini, stabilitas politik dan keamanan dianggap sebagai prasyarat utama bagi pertumbuhan ekonomi dan ketertiban sosial.
Namun, sejarah Indonesia memberikan pelajaran penting. Pada masa Orde Baru, militer tidak hanya menjalankan fungsi pertahanan, tetapi juga berperan besar dalam birokrasi dan politik melalui konsep “dwi fungsi”. Akibatnya, terjadi konsentrasi kekuasaan dan melemahnya kontrol sipil terhadap militer. Reformasi 1998 hadir untuk membalikkan arah ini: menghapus peran politik militer, memperkuat supremasi sipil, serta mengembalikan militer ke fungsi profesionalnya.
Kini, dua dekade setelah Reformasi, sejumlah tanda keterlibatan militer dalam urusan sipil kembali muncul. Walau dikemas dalam narasi baru, substansinya mengingatkan pada masa lalu. Di sinilah muncul kekhawatiran akan potensi mundurnya demokrasi secara perlahan.
Pengalaman dari negara lain bisa menjadi cermin. Rusia, misalnya, secara konstitusional menempatkan militer di bawah kendali sipil. Namun dalam praktik, banyak pejabat sipil berasal dari latar belakang militer atau intelijen, dan batas antara sipil-militer menjadi kabur. Demokrasi berjalan dalam kerangka formal, tapi minus partisipasi publik yang sehat. Oposisi dibungkam, dan kebebasan sipil dibatasi.
Tentu, Indonesia tidak sedang berada di titik ekstrem seperti Rusia. Namun gejala kembalinya militer ke ruang sipil perlu dicermati secara kritis. Demokrasi bukan sekadar pemilu, tetapi juga struktur kekuasaan yang sehat. Militer yang kuat dibutuhkan, tetapi harus tunduk pada konstitusi dan dikendalikan oleh otoritas sipil.
Pertanyaannya, apakah stabilitas yang dibangun melalui perluasan peran militer sepadan dengan risiko penurunan kualitas demokrasi?
Dalam literatur politik dan hukum, terdapat premis bahwa negara kuat diperlukan untuk pembangunan ekonomi. Namun, pemikir seperti Francis Fukuyama menegaskan bahwa negara kuat tidak selalu berarti negara yang represif. Justru, kekuatan sejati negara terletak pada kapasitas institusionalnya—kemampuannya merancang, mengeksekusi, dan menegakkan kebijakan secara efektif dan adil.
Dengan kata lain, kekuatan institusi sipil menjadi kunci. Jika birokrasi sipil lemah, jawabannya bukan menghadirkan militer sebagai solusi, melainkan memperbaiki sistem birokrasi itu sendiri. Memperkuat institusi sipil berarti membangun fondasi yang tahan uji, bukan sekadar merespons krisis dengan cara instan.
Stabilitas tanpa demokrasi sejatinya hanyalah ketertiban semu. Ia rapuh karena dibangun di atas kontrol, bukan kepercayaan rakyat. Sebaliknya, demokrasi yang sehat justru mampu melahirkan stabilitas yang berkelanjutan—karena tumbuh dari partisipasi, akuntabilitas, dan legitimasi.
Militer tetap dibutuhkan, namun dalam fungsi utamanya: menjaga pertahanan negara. Untuk itu, penguatan institusi sipil, pengawasan terhadap angkatan bersenjata, serta penegakan hukum yang adil harus terus dijaga. Menjaga keseimbangan sipil-militer bukan hanya soal teknis pemerintahan, tetapi menyangkut arah masa depan demokrasi Indonesia.
