Di tengah sorotan publik terhadap efisiensi anggaran negara, kabar tentang penggunaan hotel bintang lima untuk agenda rapat Dewan Perwakilan Rakyat kembali mencuat. Kali ini, rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) digelar di Hotel Fairmont Jakarta—salah satu hotel mewah di ibu kota—dengan biaya yang dilaporkan menembus angka lebih dari Rp80 juta per hari.
Menurut data yang dihimpun dari dokumen resmi, pengeluaran tersebut mencakup biaya sewa ruangan, konsumsi peserta, serta fasilitas pendukung lainnya. Jumlah ini langsung memicu reaksi dari masyarakat dan berbagai pengamat kebijakan publik, mengingat pembahasan undang-undang strategis tersebut sejatinya bisa dilakukan di gedung parlemen yang sudah dilengkapi fasilitas lengkap.
“Publik tentu berhak mempertanyakan urgensi penggunaan hotel mahal untuk kegiatan legislatif yang bisa dilakukan di kantor sendiri,” ujar Trubus Rahadiansyah, pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti. Ia menilai, praktik seperti ini mencerminkan rendahnya sensitivitas terhadap kondisi ekonomi rakyat.
Fenomena ini juga menuai perhatian dari sejumlah organisasi sipil yang selama ini mengawal transparansi anggaran. Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa pengalokasian dana negara untuk kegiatan semacam ini perlu diaudit secara mendalam. Dalam laporan mereka yang juga dirujuk oleh Tempo dan CNN Indonesia, disebutkan bahwa pengadaan rapat di luar gedung DPR sering kali justru memicu pemborosan tanpa memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap kualitas kebijakan.
Sementara itu, pihak DPR berdalih bahwa pemilihan lokasi di luar kompleks parlemen dilakukan demi menciptakan suasana yang lebih kondusif dan mendukung produktivitas diskusi. Namun argumen tersebut tidak sepenuhnya diterima publik, terutama di tengah wacana penghematan belanja negara dan prioritas anggaran untuk sektor krusial seperti pendidikan dan kesehatan.
Kini, pertanyaan besar menggantung di benak banyak orang: apakah efektivitas kerja wakil rakyat harus selalu dibayar dengan kemewahan? Atau justru ini menjadi cerminan budaya birokrasi yang lebih mementingkan kenyamanan dibanding urgensi pelayanan publik?