Gugatan terhadap Undang-Undang tentang Kementerian Negara kembali mencuat. Seorang advokat bernama Rudy Harsa Tanaya mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan satu sorotan utama: jabatan wakil menteri seharusnya tidak boleh dirangkap dengan jabatan lain, apalagi yang bersifat struktural atau strategis.
Menurut Rudy, keberadaan wakil menteri saat ini cenderung melanggar prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. “Rangkap jabatan dapat menciptakan konflik kepentingan dan mengganggu fokus dalam menjalankan tugas negara,” ujarnya dalam keterangan resminya.
Ia meminta Mahkamah Konstitusi untuk meninjau ulang pasal-pasal dalam UU Kementerian Negara, terutama yang tidak secara eksplisit melarang rangkap jabatan. Rudy menilai, UU yang ada masih memberikan ruang multitafsir sehingga potensi penyalahgunaan jabatan terbuka lebar.
“Negara ini perlu kepastian hukum. Pejabat publik, termasuk wakil menteri, seharusnya mengemban satu tanggung jawab penuh dan tidak dibebani jabatan lain yang dapat mempengaruhi independensinya,” jelas Rudy.
Gugatan ini menambah daftar panjang isu tata kelola kekuasaan di Indonesia, terutama menyangkut posisi-posisi strategis di pemerintahan. Banyak pihak menanti bagaimana sikap MK dalam merespons permintaan ini, yang bisa saja berdampak besar terhadap komposisi kabinet mendatang.
Apakah gugatan ini akan diterima? Atau justru ditolak? Publik menanti, karena transparansi dan akuntabilitas pejabat negara sedang menjadi sorotan tajam.