
Oleh: Arizma Bayu Suwito
JAKARTA, HI News — Dunia tengah bergejolak. Dari Washington hingga Moskow, dari Beijing hingga Canberra, manuver kekuatan global berlangsung intensif. Di tengah semua itu, Indonesia negara kepulauan strategis dengan populasi terbesar keempat di dunia kembali menghadapi ujian arah dalam hal kebijakan luar negeri.

Namun yang mencemaskan: Indonesia tidak (selalu) berada di ruang perundingan.
Presiden Tiongkok Xi Jinping baru saja menyelesaikan lawatan strategis ke Vietnam, Malaysia, dan Kamboja, dalam upaya memperkuat aliansi menghadapi tarif proteksionis Presiden Donald Trump. Sementara itu, isu kehadiran militer Rusia di Papua menambah lapisan ketegangan baru, yang bahkan membuat Australia melayangkan nota protes resmi ke Jakarta.

Tidak Dijadikan Prioritas
Indonesia, dengan potensi ekonominya yang besar, tidak termasuk dalam agenda kunjungan Xi Jinping. Ketidakhadiran ini bukan sekadar simbolik, ia mencerminkan bagaimana Indonesia tidak lagi dilihat sebagai mitra strategis yang mendesak bagi Beijing.” Indonesia netral, dan itu membuatnya berada di posisi tidak penting dalam kalkulasi jangka pendek,” kata Dr. Rina Halim, pakar hubungan internasional dari UI.
Dari sisi Amerika Serikat, sikap Presiden Trump terhadap Asia lebih ditentukan oleh perhitungan defisit dagang dan kekhawatiran akan pengaruh Tiongkok. Indonesia pun tidak luput dari tekanan tarif, terutama di sektor baja, tekstil, dan produk tambang.

Isu Papua dan Bayangan Moskow
Sementara itu, isu kehadiran militer Rusia di Biak Lanud Manuhua, Papua, menyulut reaksi keras dari tetangga selatan, Australia. Meski pemerintah Indonesia belum mengonfirmasi secara terbuka, laporan intelijen pertahanan Australia menyebut adanya aktivitas survei udara dan logistik yang mengindikasikan “kemungkinan pembangunan fasilitas strategis jangka panjang. “Ini bukan soal pangkalan militer semata, tetapi representasi bahwa Rusia ingin menciptakan kehadiran simbolik di wilayah Indo-Pasifik, dan Indonesia menjadi jembatan,” ujar Kolonel (Purn) Taufik Hidayat, pengamat militer.
Namun dengan santernya pemberitaan ini, dari Kementerian Pertahanan membantah isu tersebut, karena akan melanggar Prinsip Luar Negeri Bebas Aktif yang selama ini dianut Indonesia, begitu juga beberapa Anggota Dewan Komisi I melayangkan pernyataan yang sama.

Arah Prabowo: Tegas atau Mengambang?
Presiden Prabowo Subianto, yang dikenal dekat dengan militer dan memiliki pendekatan realistik terhadap diplomasi, kini dihadapkan pada pertanyaan besar, Quo Vadis Indonesia? Apakah Indonesia akan tetap bersikap netral aktif, atau justru mulai merapat pada salah satu kutub kekuatan dunia? Kebijakan luar negeri Indonesia tampak masih berjalan dalam garis besar “pragmatis oportunistik”, terbuka pada semua, dekat pada yang menguntungkan.
Namun dalam dunia yang makin bipolar dan penuh tekanan eksplisit, pilihan untuk tetap berada di tengah justru bisa membuat Indonesia tidak dianggap atau lebih buruk, menjadi medan perebutan pengaruh.

Di Meja Dunia, Tapi Tanpa Suara?
Dengan posisi geografis strategis, keanggotaan dalam G20, dan kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia seharusnya menjadi pemain utama dalam dinamika global. Namun kenyataannya, baik Xi Jinping, Trump, maupun Putin tampak membuat perhitungan tanpa melibatkan Jakarta secara langsung.
Maka, pertanyaan besar pun mengemuka, Akankah Indonesia tetap menjadi papan catur, atau mulai menjadi pemain catur itu sendiri?