
Ilustrasi tatkala Kapal Selam Rusia mengunjungi Pantai Florida
Pada suatu pagi musim panas 1984, pangkalan Angkatan Laut AS di Jacksonville, Florida, menerima sinyal sonar tak biasa. Sebuah kapal selam tak dikenal terdeteksi berada hanya delapan mil laut dari garis pantai—sudah masuk wilayah teritorial Amerika Serikat. Lebih mengejutkan, objek itu hanya menimbulkan jejak akustik lemah sebelum menghilang kembali ke kedalaman. Setelah dianalisis, kapal selam itu dipastikan milik Uni Soviet, kemungkinan besar dari kelas Victor III, yang selama ini dikenal cukup bising. Tapi kali ini, kapal itu nyaris senyap.
Amerika Serikat tersentak. Bagi militer AS, ini bukan sekadar pelanggaran wilayah, tetapi indikasi bahwa Uni Soviet telah mencapai kemajuan teknologi yang selama ini diyakini mustahil. Insiden ini mengingatkan kembali pada trauma nasional dua dekade sebelumnya: Invasi Teluk Babi (Bay of Pigs) tahun 1961 dan Krisis Rudal Kuba tahun 1962. Saat itu, AS dipermalukan di halaman belakangnya sendiri. Soviet, melalui Fidel Castro, berhasil mengundang sistem rudal nuklir ke tanah Kuba, hanya 90 mil dari pantai Florida. AS merespons dengan blokade angkatan laut dan nyaris membawa dunia ke ambang perang nuklir.
Pengalaman itu membuat wilayah perairan Florida menjadi titik sensitif dan simbol kedaulatan mutlak. Maka, ketika kapal selam musuh muncul kembali di kawasan yang sama dua dekade kemudian, meski dalam diam, kegelisahan yang sama menyeruak di Washington.
Presiden Ronald Reagan, yang menjabat sejak 1981, merespons cepat. CIA segera mengaktifkan satuan tugas intelijen teknis dan membentuk tim pencari fakta lintas negara. Tujuannya: mengungkap dari mana Soviet mendapatkan teknologi senyap yang memungkinkan kapal selamnya lolos dari deteksi sonar tercanggih AS.
Investigasi awal mengarah pada perubahan desain baling-baling kapal selam Soviet yang kini tidak lagi menimbulkan cavitation—gelembung udara mikroskopis yang biasanya menimbulkan suara khas. Teknologi senyap ini tak mungkin didapat dari riset internal semata. CIA mencium adanya keterlibatan teknologi Barat, lebih tepatnya dari Jepang.
Pusat perhatian mengarah ke Toshiba Machine Co., anak perusahaan Toshiba Corporation. Sejak awal 1980-an, Toshiba diketahui menjual mesin bubut berpresisi tinggi, Computer Numerical Control (CNC) 9-axis milling machines kepada perusahaan Norwegia Kongsberg Våpenfabrikk, produsen senjata yang memiliki kerja sama erat dengan NATO. Namun, transaksi tersebut ternyata hanyalah perantara. Kongsberg kemudian mengalihkan mesin-mesin itu ke Uni Soviet secara diam-diam.
Dalam laporan internal CIA berjudul “Soviet Acoustic Leap: Toshiba-Kongsberg Axis”, terungkap bahwa mesin-mesin seperti Toshiba Model M-190 memungkinkan pemotongan logam dalam sembilan sumbu secara simultan, menghasilkan bilah baling-baling kapal selam dengan permukaan nyaris sempurna. Soviet lalu menerapkannya di galangan kapal Leningrad dan Sevmash untuk kapal selam kelas Victor III dan Akula (Project 971) kelas paling senyap Soviet saat itu.

Presisinya Teknologi Jepang kala itu
Mesin-mesin itu dipasok dari Yokohama, ⁵Jepang, ke Oslo, Norwegia, lalu dikirim diam-diam ke pelabuhan Soviet di Murmansk. Data bea cukai dipalsukan. Pihak Kongsberg menyamarkan ekspor sebagai peralatan industri sipil. Pemerintah Norwegia saat itu mengklaim kecolongan, namun penyelidikan mendalam menunjukkan adanya kerja sama gelap antara pejabat Kongsberg dan perantara Soviet.
Saat keheningan kapal selam Soviet mulai mendominasi perairan Atlantik, Mikhail Gorbachev baru naik sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet pada tahun 1985. Ia mewarisi angkatan laut yang lebih diam dan canggih secara teknologi. Meski Gorbachev dikenal dengan kebijakan keterbukaan dan pelucutan senjata, keunggulan teknologi bawah laut tetap menjadi kartu strategi pertahanan Uni Soviet dalam menghadapi tekanan blok Barat.
Skandal itu terbongkar pada 1986, saat intelijen AS berhasil menyusup ke rantai logistik pemasok komponen militer Soviet. CIA menyerahkan bukti tersebut ke Kongres. Di Tokyo, Perdana Menteri Yasuhiro Nakasone yang dikenal sebagai sekutu dekat Reagan didesak bertindak tegas. Akhirnya, Toshiba mengakui kesalahan dan menyampaikan permintaan maaf publik internasional. Eksekutif tinggi Toshiba Machine, termasuk direktur ekspor Wakabayashi Shigeo, diinterogasi dan dijatuhi hukuman administratif.

Kala di akhir-akhir perang dingin Uni Soviet mencetak score
Pemerintah Jepang memperketat aturan ekspor strategis dan memperbaiki pengawasan terhadap industri presisi. Di Norwegia, Kongsberg dipaksa melakukan audit total. Namun, di Moskow, jenderal Angkatan Laut Soviet seperti Nikolai Kormiltsev justru menerima penghargaan atas keberhasilan strategi akustik bawah laut. Bagi mereka, keberhasilan menyusup ke kedalaman teknologi musuh adalah kemenangan diam-diam yang menentukan keseimbangan kekuatan laut.
Mesin-mesin Toshiba tidak pernah dikembalikan ke Jepang atau Barat. Mereka tetap digunakan hingga akhir 1980-an di fasilitas Sevmash, bahkan sebagian dilaporkan tetap aktif hingga awal 1990-an. Sementara Toshiba kehilangan kepercayaan internasional dan mengalami sanksi ekspor selama beberapa tahun.
Namun ketika Uni Soviet runtuh pada 1991, sebagian program kapal selam senyap mengalami stagnasi karena krisis ekonomi dan politik. Rusia yang lahir dari reruntuhan Uni Soviet memang mewarisi teknologi ini, namun kesulitan pendanaan membuat proyek lanjutan seperti kelas Severodvinsk (Yasen-class) baru diluncurkan dua dekade kemudian. Keunggulan akustik sempat bertahan, tetapi dominasi penuh bergeser kembali ke tangan Amerika Serikat dengan modernisasi armada kelas Virginia dan Ohio.
Secara hukum, keberadaan kapal selam Soviet dalam jarak 8 mil laut dari Pantai Florida tergolong pelanggaran wilayah teritorial berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang menetapkan batas laut teritorial negara sejauh 12 mil laut. Namun, ada komplikasi hukum:
- Uni Soviet telah meratifikasi UNCLOS pada 1982 dan menyatakan komitmennya terhadap aturan navigasi internasional.
- Amerika Serikat belum meratifikasi UNCLOS hingga hari ini, meski mengakui sebagian besar ketentuannya sebagai customary international law dan menggunakannya sebagai panduan praktik maritim.
Karena kapal selam Soviet menyusup dalam keadaan menyelam dan tidak muncul ke permukaan, AS tak bisa secara terbuka menyatakan pelanggaran. Konsekuensi hukum menjadi kabur, dan respons terbatas pada penguatan sistem deteksi serta manuver diplomatik.
Insiden ini menjadi pengingat bahwa dalam dunia intelijen militer, kebocoran teknologi tak selalu terjadi lewat spionase, tetapi juga kelengahan dalam ekspor industri. Diam-diam, mesin presisi yang diciptakan untuk keperluan sipil berubah menjadi senjata akustik bawah laut membawa gelombang ketegangan baru di sisa-sisa era Perang Dingin. (Disusun Oleh Arizma Bayu Suwito)
Artikel ini disempurnakan oleh AI