Jakarta kembali memeluk hening saat ribuan umat Katolik berkumpul di Gereja Katedral Jakarta, Jumat (19/4), untuk mengenang wafatnya Yesus Kristus. Namun ada yang berbeda tahun ini: drama liturgi yang dibawakan menyentuh dari sisi yang tak biasa—dari sudut pandang seorang ibu, Bunda Maria.
Dalam nuansa gelap dan khidmat, drama visualisasi itu menyelami emosi terdalam Bunda Maria ketika menyaksikan putranya disalib. Para jemaat tidak hanya menyaksikan kisah penyaliban sebagai sejarah iman, tetapi juga sebagai tragedi seorang ibu yang kehilangan anaknya karena cinta yang besar bagi dunia.
“Penderitaan Yesus adalah jalan cinta. Tapi dari mata Maria, kita merasakan bagaimana cinta itu juga penuh luka,” ujar seorang jemaat yang hadir.
Prosesi Jumat Agung ini merupakan bagian dari rangkaian Pekan Suci yang dimulai sejak Minggu Palma dan akan berpuncak pada Paskah. Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo, dalam khotbahnya mengajak umat untuk tidak hanya menghayati penderitaan Kristus sebagai cerita masa lalu, tapi sebagai panggilan untuk mencintai, mengampuni, dan memberi harapan di tengah dunia yang penuh luka.
Tak sedikit jemaat yang menitikkan air mata. Drama tersebut bukan sekadar pertunjukan, tapi jendela rasa yang membuka empati: bagaimana rasa sakit dan kasih bisa menyatu dalam satu tubuh bernama pengorbanan.
Katedral Jakarta bukan hanya menyajikan liturgi yang indah, tapi juga pengalaman spiritual yang menggugah jiwa. Di tengah dunia yang makin riuh dan tergesa, malam itu umat diajak sejenak berhenti—untuk merasakan cinta yang bisu tapi dalam, dari seorang ibu kepada anaknya, dari Tuhan kepada umat-Nya.