
Matahari baru saja menyinari langit Jakarta ketika lima anak kelas 5 SD Nusantara berkumpul di Stasiun LRT Jatiwarna. Jalanan masih sepi, tapi semangat mereka seperti mau mendaki gunung.
“Semua udah siap?” tanya Joko, anak Jawa yang jadi pemimpin mereka. Wajahnya ganteng-ganteng tipis dan penuh karisma, seperti kapten regu pramuka. Ia menggenggam peta Jakarta di tangan, dan ranselnya terlihat paling ringan—tapi isinya lengkap.
“Siap, Bos!” sahut Ucok, anak Batak yang bertubuh gendut dan periang. Ia memakai topi terbalik, membawa tas besar berisi camilan dan tisu basah. “Asal kita sempat beli pempek dulu, ya…”
“Ucok, kita kan mau ke Monas, bukan kulineran,” celetuk Rani, gadis Padang yang anggun dan kalem. Ia mengenakan kerudung ungu lembut, dan selalu bicara dengan nada sopan. Tapi semua tahu, kalau Rani sudah kesal, bisa lebih tajam dari lada Padang.
Tiba-tiba Sella, si anak Ambon yang jail dan suka ngelawak, muncul dari balik tiang dan meneriakkan, “BOOM!”
“Aaaak!” jerit Kevin, si anak Tionghoa yang dikenal mudah panik, pelit, dan perfeksionis dalam urusan uang. Ia langsung memeluk dompet kecilnya. “Jantung gue! Jangan gitu dong, Sella! Gue belum bayar SPP!”
Sella tertawa ngakak sambil muter-muter. “Gue kasih diskon ketakutan hari ini. Satu kali BOOM = gratis!”
Joko menepuk tangan. “Oke, misi dimulai. Kita akan naik LRT, lanjut TransJakarta, dan finish di Monas. Kita buktikan: lima anak SD bisa keliling kota tanpa orang tua!”

Kelima sahabat itu naik LRT pertama dengan lancar. Mereka duduk di satu baris, penuh semangat. Pemandangan kota lewat seperti film.
“Lihat tuh! Ada taman!” kata Rani sambil menunjuk ke luar jendela.
“Eh, eh! Gue ada ide lagu,” kata Ucok tiba-tiba. Ia berdiri dan mulai menyanyi keras, “Naik LRT… hatiku happy… walau dompet makin sepi…”
Penumpang lain tertawa. Sella langsung ikut beatbox, dan mereka membuat konser kecil di dalam gerbong.
Namun, tawa mendadak berubah jadi panik.
“Eh… eh… EH!” teriak Kevin. “Gue… gak bawa kartu emoney!!!”
Semuanya menoleh. Kevin tampak pucat dan menggenggam tasnya erat.
“Kartu lo mana?” tanya Joko tenang.
“Di rumah! Gue lupa naro di tempat biasa. Aduh, ini bencana! Gue gak bisa keluar stasiun! Gue bisa ditangkap satpam!”
“Tenang, Vin,” kata Ucok, “Gue bayarin lo dulu. Tapi catat ya. Rp 25.000. Bunga 0 persen. Tapi jangan lupa traktir es krim nanti.”
Kevin menatap Ucok dengan air mata menetes. “Lo… lo malaikat ya? Malaikat Batak yang doyan utang-piutang?”
Sella langsung megang jidat. “Drama lagi nih anak…”
Setelah beli kartu baru, mereka sempat salah naik LRT arah sebaliknya. Mereka panik saat stasiun demi stasiun malah makin jauh dari pusat kota.

“Gawat!” teriak Joko. “Ini arah ke Cibubur, bukan ke Monas!”
Ucok menggoyang tubuhnya. “Gue sih oke aja asal ada Indomaret.”
Rani mulai gelisah. “Tunggu, tunggu… kita udah buang waktu banyak. Apa kita harus balik sekarang aja?”
“Enggak!” kata Joko tegas. “Kita udah janji. Hari ini, kita sampai ke Monas. Ingat, ini soal harga diri!”
Akhirnya, mereka turun, balik arah, dan perjalanan dilanjutkan. Tapi cobaan belum selesai.
Sella iseng menaruh karet di kursi yang akan diduduki Kevin. “Aaaah! Karet dingin!” jerit Kevin, lalu menatap Sella tajam. “Kamu gak tahu ya betapa pentingnya kehormatan dompet gue?”
“Maaf, Vin. Tapi jujur, ekspresimu lucu banget.”
Ucok tertawa keras sampai cegukan. Rani hanya geleng-geleng, lalu menyodorkan rendang gulung dari rumahnya.
“Yuk makan dulu. Biar gak lelah hatinya.”
Kevin mulai senyum lagi. “Kalau rendang sih… aku maafin. Tapi tetap masuk catatan: karet di kursi = 1 poin dendam.”
Sampai di halte TransJakarta, mereka bingung lagi soal jalur.
“Gue yakin kita ke arah Harmoni,” kata Sella.
“Enggak! Arah Ragunan!” sahut Kevin.
“Aduh, Ragunan mah ke kebun binatang, bukan Monas!” teriak Ucok.
Joko langsung berdiri di tengah. “STOP! Kita lihat peta dulu. Bukan debat kusir. Kita cari jalur tengah—yang menuju Dukuh Atas, baru ganti jurusan ke Monas.”
Mereka akhirnya sepakat. Tapi saat menunggu bus, hujan turun deras. Mereka berlima berdesakan di bawah satu atap halte.
“Dingin,” kata Rani sambil menggenggam tangan. “Tapi… aku bahagia.”
“Kenapa?” tanya Ucok.
“Soalnya, ini kayak film. Petualangan, sahabat, hujan, dan Monas di ujung cerita.”
Kevin melirik jam. “Tapi PR matematika kita belum selesai…”
Semua menoleh, lalu tertawa bareng. Bahkan Sella yang paling jail pun berkata, “Hari ini… PR itu minoritas. Petualangan adalah mayoritas.”
Akhirnya, setelah dua jam perjalanan, hujan, tawa, tangis, kelaparan, dan kebingungan, mereka berdiri di depan Monas. Basah, lelah, tapi penuh kemenangan.
“MOMEN BERSEJARAH!” teriak Ucok.
Mereka semua saling peluk, lalu terduduk di rumput.
“Monas,” kata Joko pelan. “Bukan sekadar tugu. Tapi bukti kalau kita bisa.”
Kevin mengusap air matanya. “Gue… gak percaya… kita bisa… dan gue… kehabisan uang receh…”
Sella langsung tertawa, “Tenang, besok lo gue bayarin bakso. Tapi bayarnya 2 minggu kemudian.”
Hari itu, lima anak dari lima suku berbeda membuktikan bahwa keberagaman bukan penghalang. Mereka saling berbeda, saling bertolak belakang, tapi bisa jadi satu tim hebat.
Dan Monas berdiri megah di hadapan mereka—saksi dari petualangan penuh warna yang tak akan pernah mereka lupakan.

— Tamat —