
Bagi negara berkembang, investasi asing kerap dilihat sebagai penyelamat instan bagi defisit anggaran dan defisit infrastruktur. Tapi sesungguhnya, nilai terbesar dari investasi bukan terletak pada besarnya modal yang datang, melainkan pada konsep besar yang menyertainya. Investor datang membawa sistem, jaringan, dan keahlian yang bisa menjadi katalis bagi transformasi ekonomi.
Di sinilah negara tuan rumah diuji, apakah sekadar menjadi ladang, atau mampu menjadi pemain utama, Tiongkok adalah contoh klasik tentang bagaimana sebuah negara miskin bisa menjadi raksasa dunia melalui strategi jangka panjang yang jenius berbasis investasi asing.

Pada tahun 1980-an, PDB per kapita Tiongkok bahkan lebih rendah daripada Indonesia. Namun dalam waktu kurang dari lima dekade, mereka berhasil melesat menjadi kekuatan manufaktur dan teknologi terbesar di dunia. Rahasianya? Mereka tidak hanya mengundang investor, tapi memanfaatkan mereka sebagai jembatan menuju kemandirian.
Ketika dunia mulai melirik Tiongkok sebagai basis produksi murah, pemerintah mereka tidak hanya membuka kawasan industri, tetapi juga menyusun grand design nasional. Mereka menyiapkan pendidikan vokasi, infrastruktur logistik, dan birokrasi yang efisien. Lebih jauh lagi, mereka menerapkan strategi amati, tiru, modifikasi. Pabrik-pabrik asing didirikan di wilayah khusus, dan dalam waktu singkat, para insinyur lokal Tiongkok sudah memahami teknologi mesin-mesin Eropa dan Amerika. Yang semula hanya perakit, perlahan-lahan menjadi produsen.

Tiongkok bahkan berani mengambil langkah lebih jauh, melakukan akuisisi atas merek-merek luar negeri, termasuk di sektor otomotif, teknologi, dan energi. Dari perusahaan minyak Kanada hingga pabrik mobil Volvo, semuanya diakuisisi untuk satu tujuan, menguasai alat produksi global.
Mereka tidak menolak globalisasi, tapi menjinakkannya agar sesuai dengan agenda domestik mereka. Investasi asing menjadi alat, bukan tujuan.

Hari ini, Tiongkok bukan lagi negara yang menunggu teknologi datang. Mereka memproduksi chip, mobil listrik, kereta cepat, dan bahkan merancang satelit serta kecerdasan buatan. Semua berawal dari mimpi panjang yang diwujudkan lewat strategi jangka panjang, keberanian meniru, dan keberanian lebih besar untuk melampaui.
Pelajaran penting untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah, jangan hanya menghitung jumlah investasi yang masuk, tapi hitung pula seberapa banyak nilai tambah, pengetahuan, dan teknologi yang bisa diserap. Pemerintah harus berani memetakan masa depan, menciptakan ekosistem industri dalam negeri, dan menyiapkan generasi yang siap mengisi ruang strategis itu.
Karena pada akhirnya, investor memang datang membawa konsep besar. Tapi hanya negara dengan visi yang lebih besar yang mampu mengubah investasi menjadi peradaban baru.

“Kembangkan diri kita dengan diam-diam, dan jangan menonjolkan diri.”(Strategi politik Deng Xioping Pendiri China Modern dalam menumbuhkan kekuatan ekonomi dan militer Tiongkok tanpa menarik perhatian atau konfrontasi.)