
Jakarta – Harapan Indonesia menjadi pusat industri kendaraan listrik dunia kembali mendapat ujian. Konsorsium perusahaan asal Korea Selatan yang terdiri dari LG Energy Solution, LX International, dan POSCO Holdings resmi membatalkan proyek besar senilai USD 9 miliar atau sekitar Rp130 triliun untuk membangun rantai pasokan baterai kendaraan listrik terintegrasi di Indonesia.
Proyek ini sebelumnya digadang-gadang sebagai langkah strategis untuk memperkuat posisi Indonesia dalam ekosistem kendaraan listrik global. Ketiga perusahaan Korea Selatan itu telah membentuk aliansi sejak 2021 dan bekerja sama dengan Indonesia Battery Corporation (IBC), sebuah entitas nasional hasil konsolidasi empat BUMN, MIND ID, PLN, Pertamina, dan Antam. Lewat IBC, konsorsium ini hendak membangun sistem pasokan baterai yang mencakup seluruh rantai nilai, mulai dari hulu hingga hilir.
Adapun ruang lingkup investasinya tidak main-main. Mereka berencana membangun fasilitas pengolahan nikel di Morowali dan Halmahera, smelter nikel berteknologi tinggi, pabrik prekursor dan katoda di Karawang, hingga fasilitas produksi sel baterai dan sistem daur ulang. Dengan potensi sumber daya alam nikel Indonesia yang melimpah, proyek ini diposisikan sebagai kunci transformasi energi nasional.
Namun, meskipun persiapan telah dilakukan sejak lama, jalan menuju realisasi ternyata tidak semulus yang dibayangkan. Menurut informasi dari Kementerian Investasi dan sejumlah sumber industri, gagalnya kerja sama ini disebabkan oleh ketidaktercapaian kesepakatan final antara kedua belah pihak. Negosiasi yang berlarut-larut, belum jelasnya regulasi pendukung, serta ketidakpastian dalam skema insentif investasi disebut menjadi faktor utama yang membuat konsorsium Korea mengundurkan diri.
Sumber dari pihak pemerintah menyebutkan bahwa pihak investor merasa proses penyusunan dokumen legal dan kerangka bisnis berlangsung terlalu lambat, bahkan stagnan. Di sisi lain, sumber yang dekat dengan pihak Korea menyebut bahwa kurangnya kejelasan soal perlindungan investasi dan tidak adanya insentif fiskal konkret membuat proyek menjadi tidak menarik secara komersial. “Kesepakatannya tidak kunjung konkret, dan kami tidak bisa terus menunggu,” ungkap salah satu sumber dari kalangan investor.Situasi ini memunculkan pertanyaan besar mengenai kesiapan Indonesia dalam menyambut investasi hijau berskala besar. Beberapa pengamat menilai bahwa persoalan utamanya terletak pada kelembagaan dan koordinasi antarkementerian serta BUMN yang tergabung dalam IBC. Belum matangnya tata kelola internal IBC serta tarik-ulur kepentingan antarinstansi membuat proses negosiasi dengan mitra asing menjadi tersendat.
Di luar isu regulasi, faktor politik juga turut diperhitungkan. Perubahan arah kebijakan pascapemilu serta kekhawatiran investor terhadap konsistensi kebijakan energi hijau Indonesia diyakini ikut membentuk persepsi negatif. Ketidakjelasan antara insentif fiskal, tata kelola lingkungan, dan strategi hilirisasi juga memperkuat keraguan. “Kalau kita ingin menjadi pemain global, kita harus belajar menjamin kepastian,” kata seorang pakar energi dari salah satu universitas negeri di Jakarta.
Meski demikian, pemerintah mengklaim bahwa masih ada minat dari investor lain, khususnya dari Tiongkok. Namun, ketergantungan berlebihan pada satu negara justru dikhawatirkan dapat menciptakan risiko geopolitik dan ketidakseimbangan dalam penguasaan sumber daya alam strategis. Jika Indonesia tidak segera membenahi sistem regulasi dan membangun kepercayaan di mata investor global, peluang emas untuk menjadi pusat industri kendaraan listrik bisa hilang begitu saja.