
Yarmuk 636 M dan Yogyakarta 1949: Dua Perlawanan, Satu Semangat
Sejarah sering kali menyukai mereka yang besar—kerajaan megah, pasukan tak terhitung, dan senjata yang gemerlap. Namun, tak jarang pula sejarah mencatat kisah-kisah kecil yang justru mengguncang dunia. Di dua titik waktu yang sangat berjauhan, dua peristiwa menyatu dalam semangat yang sama: tentang mereka yang kecil, yang tampak lemah, namun berani menantang raksasa dan menang.
Pada tanggal 15 hingga 20 Agustus 636 M, di lembah Yarmuk, pasukan Muslim yang berjumlah sekitar 30.000 orang menghadapi pasukan Bizantium yang konon mencapai lebih dari 100.000. Khalid bin Walid, sang Pedang Allah, memimpin mereka bukan dengan kekuatan jumlah, tapi dengan keyakinan dan strategi. Tidak ada benteng, tidak ada tempat mundur—hanya langit dan keyakinan sebagai saksi. Selama enam hari, gurun bergolak. Khalid mengatur gerakan pasukan dengan presisi, mengecoh, mengepung, dan menyerang dengan keberanian yang nyaris mustahil. Ketika badai gurun datang, ia tidak gentar. Justru di tengah kabut pasir, ia menggempur dari tengah, memecah kekuatan Bizantium. Sungai Yarmuk pun menjadi saksi kehancuran salah satu kekaisaran terbesar di dunia Timur. Raksasa itu jatuh, bukan karena kekurangan senjata, tapi karena kalah dalam arah dan tekad.
Tiga belas abad kemudian, di pagi 1 Maret 1949, kota Yogyakarta yang sedang diduduki oleh Belanda menjadi panggung bagi kisah serupa. Republik Indonesia dinyatakan telah tiada oleh dunia internasional. Tapi para pejuang tahu, bahwa selama nyawa dan semangat masih tersisa, republik tak pernah benar-benar mati. Sri Sultan Hamengkubuwono IX membuka jalan melalui keraton, Jenderal Soedirman, meski sakit, tetap memberi aba-aba dari persembunyiannya di hutan. Mayor Soeharto—muda dan berani—memimpin serangan kilat yang hanya berlangsung enam jam, dibantu para pemuda seperti Komaruddin yang memompa semangat rakyat. Dalam waktu yang singkat itu, Yogyakarta berhasil direbut kembali. Bukan untuk mempertahankan kota, tapi untuk membuktikan kepada dunia: Indonesia masih ada.
Dua peristiwa ini tidak terhubung oleh geografi atau waktu, namun oleh jiwa yang sama. Keduanya menunjukkan bahwa kekuatan sejati tidak selalu diukur oleh jumlah pasukan atau canggihnya persenjataan. Kadang, kekuatan itu lahir dari keyakinan, dari keberanian untuk berdiri ketika semua orang lain tunduk. Khalid bin Walid dan Jenderal Soedirman, dalam konteks yang sangat berbeda, sama-sama menjadi simbol dari semangat itu—bahwa kemenangan bisa dicapai ketika yang kecil tidak menyerah untuk melawan.
Raksasa bisa berupa apapun: kekaisaran, penjajahan, atau bahkan rasa takut. Tapi seperti yang dibuktikan di Yarmuk dan Yogyakarta, raksasa itu bisa tumbang. Karena pada akhirnya, bukan ukuran tubuh atau jumlah pasukan yang menentukan sejarah, tapi mereka yang berani menantang langit meski hanya dengan satu anak panah dan keyakinan penuh di dada.
