
Oleh: [Arizma Bayu Suwito]
Selat Bab el-Mandeb — Di bawah permukaan laut yang tenang, berjarak ribuan meter dari kapal-kapal dagang yang berlalu-lalang di Selat Bab el-Mandeb, terentang kabel-kabel serat optik yang menjadi nadi komunikasi dunia. Hampir tak terlihat, tetapi menyimpan beban hingga 95 persen lalu lintas data global.
Kini, kabel-kabel itu menjadi bagian dari arena konflik yang tak terduga. Yaman, yang dalam beberapa bulan terakhir meningkatkan konfrontasi langsung terhadap kapal-kapal dagang yang diduga terkait Israel dan Amerika Serikat di perairan Laut Merah dan Selat Hormuz, memberi sinyal bahaya baru, kemungkinan memutus kabel laut sebagai bentuk tekanan strategis terhadap kekuatan Barat.
Dengan kemampuan rudal dan drone yang telah beberapa kali digunakan untuk menyerang kapal, milisi Houthi yang menguasai ibu kota Sanaa dan sebagian besar wilayah barat Yaman mengklaim bahwa aksi mereka adalah bentuk solidaritas terhadap Palestina dan perlawanan terhadap dominasi ekonomi serta militer negara-negara besar. Dalam strategi modern, komunikasi adalah segalanya. Dan kini, sistem kabel bawah laut menjadi target sunyi namun mematikan.
Preseden Sejarah
Bukan kali pertama infrastruktur komunikasi global dijadikan alat tekanan militer. Pada 1914, Inggris memutus kabel-kabel bawah laut milik Jerman sebagai strategi dalam Perang Dunia I. Langkah itu bukan hanya memutus komunikasi Jerman dengan koloninya, tetapi juga menjebak mereka dalam isolasi informasi strategis.
Seabad kemudian, ancaman serupa kembali muncul dari kawasan Teluk Aden. Bedanya, bukan dari negara besar yang terlibat perang dunia, melainkan dari negara yang tertindas tetapi mencari cara untuk menunjukkan taringnya di panggung geopolitik global.
Titik Rawan
Peta infrastruktur global menunjukkan bahwa beberapa kabel strategis seperti SeaMeWe-5, AAE-1, dan FLAG melewati wilayah dekat Yaman. Wilayah ini adalah simpul penting yang menghubungkan Asia, Timur Tengah, dan Eropa. Potensi sabotase atau pemutusan kabel di sini dapat mengganggu konektivitas hingga ke India, Afrika Timur, dan Eropa Barat.
Risiko Ekonomi dan Keamanan
Gangguan komunikasi bisa berarti kerugian ekonomi yang masif. Studi dari firma riset telekomunikasi memperkirakan bahwa pemutusan kabel laut selama 48 jam di satu titik strategis dapat menimbulkan kerugian lebih dari 10 miliar dolar AS. Sistem perbankan global, perdagangan saham, dan layanan cloud lintas negara sangat rentan terhadap gangguan ini.
Lebih jauh lagi, jalur komunikasi yang sama juga digunakan dalam operasi militer dan intelijen. Dengan kata lain, target terhadap kabel laut bisa memotong jalur komando dan informasi strategis negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis.
Pertanyaan Hukum dan Reaksi Internasional
Apakah tindakan itu sah menurut hukum internasional? Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 secara tegas melarang perusakan kabel laut internasional di luar perairan teritorial, kecuali dalam kondisi luar biasa seperti konflik bersenjata yang sah dan proporsional.
Menurut Prof. Michael Schmitt, pakar hukum perang dan hukum siber dari Naval War College dan editor Manual Tallinn, infrastruktur sipil seperti kabel bawah laut dapat menjadi target militer sah jika dan hanya jika kabel itu digunakan secara langsung untuk keperluan militer. Namun, Schmitt menekankan bahwa serangan terhadap kabel laut yang berdampak luas terhadap sipil dan perekonomian dunia berisiko melanggar prinsip proporsionalitas dan pembedaan (distinction) dalam hukum humaniter internasional.
Dari perspektif Indonesia, Dr. Hasyim Djalal, tokoh perumus UNCLOS dan mantan Duta Besar RI untuk PBB di bidang kelautan, dalam berbagai forum internasional menegaskan bahwa kabel bawah laut adalah bagian dari warisan bersama umat manusia (common heritage) yang harus dilindungi dari konflik bersenjata dan sengketa geopolitik. “Sekali kabel laut jadi senjata, maka stabilitas global jadi taruhan,” ujarnya dalam sebuah simposium hukum laut di Jakarta.
Sementara itu, Prof. Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa negara seperti Yaman, jika bertindak merusak kabel laut di luar perairannya tanpa dasar perang yang sah, berpotensi dicap sebagai agresor dalam tatanan hukum internasional. “Aksi semacam itu dapat memicu tindakan pembalasan kolektif, baik berupa sanksi maupun intervensi terbatas oleh negara-negara yang dirugikan,” katanya.
Dengan landasan ini, koalisi negara-negara besar terutama Amerika Serikat, Inggris, dan sekutu Eropa dapat mengaktifkan prinsip pembelaan diri kolektif dalam Piagam PBB Pasal 51. Hal ini membuka jalan pada respons militer terbatas atau operasi pengamanan di wilayah strategis seperti Laut Merah dan Teluk Aden.
Strategi Tekanan Global
Mengapa kabel laut? Karena dampaknya global dan tidak berdarah secara langsung. Menargetkan kabel adalah cara cerdas untuk mengganggu tatanan dunia tanpa melibatkan pasukan darat. Ini juga memberi sinyal bahwa aktor non-negara atau negara kecil bisa menekan raksasa global melalui titik-titik vital sistem digital dunia.
Kabel vs Satelit:

Infrastruktur Komunikasi di Ujung Krisis
Krisis di Yaman dan ancaman terhadap kabel bawah laut juga membuka kembali perdebatan lama:
mana yang lebih unggul kabel optik atau komunikasi satelit? Secara umum, kabel optik lebih unggul dalam hal:
✅️ Efisiensi: Mampu menangani volume data besar secara stabil.
✅️ Keamanan: Sulit diakses atau disadap, meski tetap rentan sabotase fisik.
✅️ Kecepatan dan Latency: Jauh lebih cepat dan rendah delay dibanding satelit, sangat ideal untuk kebutuhan real-time.
✅️ Ekonomis: Biaya awal besar, tapi lebih murah dalam jangka panjang.
Sedangkan komunikasi satelit unggul di:
☑️ Aksesibilitas: Dapat menjangkau daerah terpencil dan wilayah tanpa infrastruktur.
☑️ Ketahanan geografis: Tidak bergantung pada jalur fisik yang bisa rusak karena gempa atau perang.
Namun, satelit memiliki latency lebih tinggi, rentan jamming, dan biaya peluncuran serta pemeliharaan lebih mahal. Karena itu, untuk penggunaan internet secara masif dan lintas benua, kabel laut tetap menjadi pilihan utama.
Diplomasi atau Ancaman Baru?
Apa yang tampak seperti lautan tenang di permukaan bisa menyimpan badai diplomatik dan krisis digital di dasarnya. Ketika dunia semakin terhubung oleh serat optik dan data lintas samudra, satu gerakan kecil di dasar laut dapat mengguncang sistem global, dari ruang rapat di Tokyo hingga server militer AS di Qatar.
Yaman mungkin bukan kekuatan besar. Tetapi ketika kabel laut jadi senjata, suara kecil dari Laut Merah bisa mengguncang seluruh dunia.