Oleh: Syamsudin Kadir – Penulis Buku “Melahirkan Generasi Unggul”
Beberapa hari terakhir, publik kembali digemparkan oleh kabar memilukan: dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh AF, pimpinan sebuah yayasan pondok pesantren di Kekait, Lombok Barat, NTB. Berdasarkan laporan dari Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB, tercatat sedikitnya 22 santriwati menjadi korban. Jumlah ini bisa bertambah seiring proses hukum berjalan.
Dari 22 korban, baru sebagian yang melapor secara resmi ke Polresta Mataram dalam lima laporan yang sudah diterima. Mayoritas korban diketahui sudah menjadi alumni pesantren tersebut. Keberanian mereka untuk bersuara muncul setelah menonton film Bidaah (Film Walid) asal Malaysia, yang tengah viral karena mengangkat isu serupa.
Kejadian yang diduga terjadi sejak 2016 hingga 2023 ini berlangsung dalam jangka waktu lama, seringkali terjadi dini hari di asrama santriwati. Ironisnya, pelaku berdalih bahwa tindakan tersebut akan “memberkahi” rahim para korban agar kelak melahirkan anak-anak yang menjadi wali. Modus manipulatif ini sungguh keji dan mempermainkan aspek spiritual.
Kejadian serupa tak hanya terjadi di NTB, tetapi juga di berbagai daerah lain, baik di lembaga pendidikan berbasis pesantren maupun non-pesantren. Yang menjadi sorotan adalah ringannya hukuman bagi pelaku kekerasan seksual, sementara korban harus menanggung malu, trauma, dan kehilangan masa depan.
Agar tragedi semacam ini tidak berulang, beberapa hal penting perlu menjadi perhatian bersama:
1. Penegakan hukum harus tuntas dan adil. Pelaku kejahatan seksual harus dihukum berat. Hukum tak boleh tebang pilih, hanya tegas jika korban anak sendiri. Ketegasan akan menjadi efek jera dan mencegah pelaku lain muncul.
2. Orangtua harus lebih selektif memilih lembaga pendidikan. Tak cukup hanya melihat reputasi, tapi juga mengenal pengasuhnya, memahami kurikulumnya, serta menelusuri latar belakang pondok hingga ke alumni.
3. Orangtua adalah pendidik utama. Lembaga pendidikan hanya pelengkap. Maka tanggung jawab utama tetap ada pada orangtua, bukan sepenuhnya diserahkan pada sekolah atau pesantren.
4. Masyarakat jangan menyamaratakan semua pesantren. Satu kasus tidak bisa menjadi dalih untuk mencap semua pesantren sebagai lembaga cabul. Ribuan pesantren telah mencetak generasi unggul yang berkontribusi nyata bagi bangsa.
5. Pesantren perlu terbuka terhadap kritik. Rasa kecewa dan marah publik adalah bentuk perhatian dan cinta. Pesantren harus siap membenahi diri dan menjalin komunikasi yang terbuka dengan wali santri.
6. Aturan interaksi gender perlu ditegaskan. Pesantren harus membuat batas yang jelas antara pengajar laki-laki dan santriwati. Pembatasan ini penting untuk mencegah ruang-ruang interaksi yang bisa dimanfaatkan secara salah.
7. Orangtua harus menjaga kedekatan emosional dengan anak. Pengawasan bukan sekadar fisik, tapi juga komunikasi. Jangan sampai anak lebih dekat pada sosok lain karena jauhnya relasi batin dengan orangtuanya.
Peristiwa ini adalah alarm bagi kita semua—bahwa anak-anak harus diawasi dengan lebih hati-hati, apalagi ketika mereka telah memasuki usia baligh. Tanggung jawab ini tidak bisa dianggap remeh. Allah mengingatkan dalam QS At-Tahrim ayat 6: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”—sebuah peringatan bahwa tanggung jawab moral dan spiritual atas anak-anak adalah amanah utama orangtua.
Mari kita belajar dari tragedi ini tanpa menggeneralisasi (menghakimi), dan terus berjuang agar lembaga pendidikan, terutama pondok pesantren, benar-benar menjadi tempat suci membentuk generasi beriman dan berakhlak mulia.