
Rudal ini merupakan salah satu tonggak penting dalam program R-Han (Roket Nasional), yang telah dikembangkan sejak awal 2000-an melalui kolaborasi antara TNI, BRIN, PT Dahana, PT Pindad, dan LAPAN.
Meski R-Han 450 masuk dalam kategori rudal balistik jarak pendek, penting untuk melihatnya dalam konteks lebih luas, yakni sebagai bagian dari tren regional di Asia yang memperlihatkan peningkatan pesat pengembangan roket dan rudal jarak menengah, terutama dalam kisaran 70–200 km. Rudal dengan jangkauan tersebut umumnya tidak hanya difungsikan sebagai penangkal agresi darat, tetapi juga sebagai instrumen proyeksi kekuatan dan penyeimbang strategis dalam kawasan yang kian kompetitif.
Namun dari sisi teknologi, R-Han 450 saat ini belum dapat sepenuhnya dikategorikan sebagai rudal berpemandu presisi. Belum ada konfirmasi publik bahwa sistem ini telah dilengkapi dengan perangkat pemandu aktif seperti INS (Inertial Navigation System), GPS militer, atau sensor terminal seperti radar maupun infra-merah. Dengan demikian, tingkat akurasi rudal ini masih bergantung pada arah peluncuran dan lintasan balistik awal, serupa dengan roket balistik taktis konvensional. Ketiadaan sistem pemandu ini juga berarti R-Han 450 belum dilengkapi sistem anti-jamming, yang umumnya baru relevan ketika rudal menggunakan sistem navigasi berbasis satelit atau komunikasi data. Meski begitu, ke depan tak tertutup kemungkinan Indonesia mengembangkan varian lanjutan yang lebih presisi dan tahan terhadap intersepsi elektronik.

Beberapa negara di Asia yang memiliki program senjata jarak menengah sejenis antara lain:
India
India aktif mengembangkan sistem peluncur roket multi-laras (MLRS) Pinaka yang kini telah mencapai varian Mk2 dan Mk3. Varian Mk2 memiliki jangkauan sekitar 90 km, sementara Mk3 diperluas hingga 120 km. Sistem ini dirancang untuk menyaingi dan mengimbangi sistem buatan China dan Pakistan, serta dilengkapi pemandu berbasis GPS dan INS yang menjadikan akurasinya lebih tinggi.
Korea Selatan
Negara ini mengembangkan K239 Chunmoo, sistem roket modular yang mampu meluncurkan berbagai jenis amunisi, termasuk roket 239 mm dengan jangkauan 80 hingga 200 km. Chunmoo bukan sekadar alat pertahanan, tetapi juga sarana untuk memperkuat postur militer Korea Selatan di tengah ketegangan geopolitik dengan Korea Utara.
Taiwan
Dalam menghadapi tekanan militer dari Tiongkok, Taiwan mengembangkan sistem rudal Hsiung Feng II dan III. Hsiung Feng II adalah rudal jelajah subsonik dengan jangkauan 80–160 km, dirancang untuk menghancurkan kapal permukaan. Modernisasi rudal ini termasuk peningkatan daya jangkau dan kemampuan ECM (electronic countermeasure) untuk menghindari intersepsi musuh.
Tiongkok
Tiongkok mengoperasikan sistem peluncur roket jarak menengah seperti PHL-03 dan AR-3. Keduanya mampu meluncurkan roket 300 mm dan 370 mm dengan jangkauan maksimum sekitar 130 km. Sistem ini didesain tidak hanya untuk keperluan pertahanan dalam negeri, tetapi juga sebagai produk ekspor strategis ke negara mitra seperti Pakistan dan negara-negara Afrika.
Iran
Iran, yang memiliki pengalaman panjang dalam pengembangan rudal domestik karena embargo internasional, memiliki sistem seperti Fateh-110. Rudal ini memiliki jangkauan 200–300 km dan dikenal karena mobilitas tinggi serta kemampuan manuver yang menjadikannya senjata sulit dicegat. Iran memanfaatkan rudal ini sebagai bagian dari doktrin asymmetric warfare dan deterrence regional.
Tren Regional Menjaga Daya Gentar Tanpa Eskalasi Nuklir
Peningkatan jumlah rudal dan roket dengan jangkauan 100–300 km di Asia tidak hanya merefleksikan ambisi kekuatan militer konvensional, tetapi juga mengisyaratkan strategi penggentar regional. Negara-negara ini tampaknya mencari jalan tengah: memperkuat pertahanan dan proyeksi kekuatan tanpa harus menabrak norma internasional seperti proliferasi senjata nuklir.Indonesia sendiri, dengan posisi geostrategis di jalur ALKI dan kerap terpapar ketegangan Laut Cina Selatan, memiliki kepentingan vital untuk mengembangkan sistem seperti R-Han 450. Dalam konteks itu, pengembangan teknologi roket jarak menengah, terutama yang berbasis dalam negeri,menjadi tidak hanya urusan pertahanan, tetapi juga soal harga diri dan kedaulatan teknologi. (ABS)