Baru-baru ini, jagat maya dihebohkan oleh beredarnya video yang menampilkan mobil Maung Garuda, kendaraan yang mirip dengan mobil dinas Presiden Prabowo Subianto, tengah mengisi bahan bakar di SPBU Shell. Video tersebut langsung memicu berbagai spekulasi dan perbincangan hangat di kalangan netizen.
Menanggapi hal ini, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, memberikan klarifikasi bahwa peristiwa tersebut terjadi sekitar empat bulan lalu, sebelum Prabowo menjabat sebagai presiden. Ia menekankan bahwa mobil tersebut belum dilengkapi dengan plat nomor Indonesia 1 atau RI 1 saat kejadian. “Itu sekitar 4 bulan yang lalu. Itu sebelum jadi mobil presiden. Belum ada plat Indonesia 1 atau RI 1,” jelas Hasan. Ia juga menambahkan bahwa pengisian BBM dapat dilakukan di mana saja tanpa tendensi apa pun.
Di tengah sorotan terhadap video tersebut, muncul juga isu mega korupsi di tubuh PT Pertamina yang diduga merugikan negara hingga Rp193,7 triliun. Kejaksaan Agung mengungkap bahwa praktik korupsi ini melibatkan penyelewengan dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang selama periode 2018-2023. Tujuh orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk petinggi Pertamina dan pihak terkait.
Menurut Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, kerugian tersebut berasal dari lima komponen utama: ekspor minyak mentah dalam negeri (Rp35 triliun), impor minyak mentah melalui perantara (Rp2,7 triliun), impor BBM via broker (Rp9 triliun), pemberian kompensasi (Rp126 triliun), dan subsidi (Rp21 triliun). Ia menjelaskan bahwa para tersangka sengaja menurunkan kapasitas produksi kilang Pertamina dengan dalih “kesiapan teknis” yang tidak valid. Padahal, regulasi mengharuskan Pertamina memprioritaskan minyak mentah dari kontraktor dalam negeri sebelum impor, sesuai Peraturan Menteri ESDM No. 42/2018.
Di sisi lain, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyoroti dampak korupsi ini terhadap konsumen. Ketua BPKN, Mufti Mubarok, menilai bahwa jika temuan Kejaksaan Agung terbukti, maka telah terjadi pelanggaran terhadap hak konsumen. Ia menjelaskan bahwa konsumen dijanjikan RON 92 (Pertamax) dengan harga lebih mahal, tapi yang didapat RON 90 (Pertalite). Mufti menambahkan bahwa konsumen yang merasa dirugikan bisa mengajukan gugatan ke pengadilan secara bersama-sama atau class action.
Kasus ini menjadi sorotan publik dan menimbulkan pertanyaan mengenai integritas pengelolaan sumber daya energi nasional. Masyarakat berharap agar pemerintah dan aparat penegak hukum dapat menuntaskan kasus ini secara transparan dan adil. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa praktik-praktik korupsi semacam ini tidak terulang di masa mendatang.