Belakangan ini, dunia maya diramaikan oleh kabar bahwa kendaraan bisa langsung disita saat pengendara terkena tilang. Isu ini menyebar cepat dan memicu keresahan publik, terutama para pengendara yang khawatir akan kehilangan kendaraan mereka hanya karena melanggar aturan lalu lintas. Namun, benarkah informasi itu sesuai dengan kenyataan di lapangan?
Menanggapi isu tersebut, Kepolisian melalui Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri akhirnya angkat bicara. Mereka membantah kabar tersebut dan menegaskan bahwa proses penindakan terhadap pelanggar lalu lintas tetap mengacu pada aturan resmi. “Kami pastikan tidak ada prosedur penyitaan kendaraan secara langsung hanya karena pelanggaran lalu lintas biasa. Informasi yang beredar itu tidak benar dan bisa menyesatkan masyarakat,” ujar Direktur Penegakan Hukum Korlantas Polri, Brigjen Aan Suhanan.
Dalam praktiknya, pelanggar lalu lintas dikenai sanksi administratif sesuai ketentuan yang berlaku, baik berupa denda maupun tilang elektronik (ETLE). Penyitaan kendaraan hanya dilakukan dalam kondisi tertentu, misalnya jika kendaraan digunakan dalam kejahatan, tidak memiliki surat-surat resmi, atau membahayakan keselamatan umum. Hal ini senada dengan pernyataan dari pengamat transportasi Djoko Setijowarno yang menyebut bahwa penyitaan kendaraan tidak bisa dilakukan sembarangan tanpa dasar hukum yang kuat.
Bahkan, beberapa lembaga media kredibel seperti Kompas, Detik, CNN Indonesia, Tempo, dan Liputan6 juga telah memverifikasi informasi ini dan menyatakan bahwa kabar penyitaan kendaraan saat tilang adalah hoaks. Kementerian Perhubungan pun turut memberikan penjelasan bahwa penindakan hukum dalam lalu lintas harus mengedepankan aspek keadilan dan edukasi, bukan menakut-nakuti masyarakat.
Di era digital saat ini, penyebaran hoaks sangat sulit dibendung jika masyarakat tidak cermat dalam menyaring informasi. Korlantas pun mengimbau agar publik selalu merujuk pada kanal resmi institusi negara untuk memperoleh informasi yang valid. “Jangan mudah percaya dengan informasi viral tanpa mengecek kebenarannya terlebih dahulu. Bisa jadi itu hanya bentuk provokasi yang ingin menciptakan kepanikan,” tutup Brigjen Aan.