
Axel anak Muda Campuran Jerman yang saat ini berdinas di Tentara Jerman, Ada Ibu Baptiste berpangkat Letkol di Ketentaraan Amerika, dan yang Fenomenal Satria Arta Kumbara ex Marinir yang disersi saat ini menjadi Combatan bersama Rusia di medan perang Ukraina
Oleh: Arizma Bayu suwito
Fenomena warga negara Indonesia (WNI) atau keturunan Indonesia yang bergabung dengan militer asing makin sering menarik perhatian publik. Beberapa nama bahkan viral, Axel, remaja berdarah Indonesia yang kini bertugas di militer Jerman; Letkol Rosita Baptiste, perempuan asal Sumatera Utara yang menjabat perwira menengah di Angkatan Darat Amerika Serikat, hingga Satria Arta Kumbara, mantan Marinir TNI AL yang kini bertempur bersama militer Rusia di medan perang Ukraina.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apa makna nasionalisme di era global? Apakah keindonesiaan hanya diukur dari paspor, atau juga dari rasa dan nilai?
Bagi sebagian orang seperti Axel atau Rosita, keikutsertaan dalam militer asing lahir dari proses migrasi dan naturalisasi. Mereka menjadi warga negara di tempat baru, lalu mengabdi secara profesional. Bagi mereka, menjadi tentara bukanlah bentuk pengkhianatan pada Indonesia, melainkan bentuk integrasi di negara baru. Bahkan, Rosita tetap mengajarkan bahasa Indonesia kepada anaknya di Amerika. Di satu sisi, ini adalah potret diaspora yang berhasil.
Namun kasus Satria berbeda. Ia adalah mantan anggota TNI yang desersi, dipecat dari dinas militer Indonesia, dan kemudian secara terbuka mengaku bergabung dengan militer Rusia. Ia bahkan mengenakan seragam tempur Rusia dan muncul dalam berbagai kanal media sosial serta propaganda militer. Posisi ini bukan hanya memicu polemik moral, tapi juga membuka kemungkinan implikasi hukum serius.
Status Kewarganegaraan: Apakah Hukum Masih Berlaku?
Pasal 23 huruf d UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan menyebut bahwa WNI yang masuk dinas militer asing tanpa izin Presiden dapat kehilangan kewarganegaraannya. Bila pencabutan status WNI atas nama Kumbara dilakukan secara resmi, maka secara teknis ia tidak lagi berada di bawah yurisdiksi hukum nasional Indonesia kecuali ia melakukan tindak pidana lintas batas atau terhadap kepentingan vital Indonesia.
Namun demikian, menurut Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI, “Seseorang yang kehilangan kewarganegaraan Indonesia tidak serta-merta terbebas dari tanggung jawab hukum atas perbuatan yang ia lakukan saat masih menjadi WNI.” Jika Kumbara diduga melakukan pelanggaran hukum, misalnya desersi atau pembocoran informasi militer, maka ia tetap dapat dimintai pertanggungjawaban secara in absentia, atau melalui kerja sama hukum internasional jika tersedia dasar hukum dan kesepakatan ekstradisi.
Pendapat serupa disampaikan oleh Direktur Tata Negara Kementerian Hukum dan HAM, Baroto Seno, yang menegaskan bahwa “proses pencabutan kewarganegaraan tidak menghapus jejak hukum. Kalau ada tindak pidana yang dilakukan sebelum statusnya dicabut, negara tetap punya hak menuntut.” Namun, ia juga menambahkan bahwa implementasi proses hukum terhadap warga yang berada di luar negeri, terutama di zona perang, menghadapi kendala teknis dan diplomatik yang serius.
Konsekuensi Hukum dan Politik
Desersi dalam hukum militer Indonesia adalah pelanggaran pidana berdasarkan KUHPM dengan ancaman hingga 12 tahun penjara. Jika Kumbara masih dianggap WNI saat membelot ke Rusia, maka ia bisa dijerat secara hukum. Jika status WNI-nya sudah resmi dicabut, negara hanya dapat bertindak terbatas misalnya melalui Interpol atau kerja sama bilateral, bila memungkinkan.
Namun demikian, posisi Kumbara yang kini turut serta dalam perang terbuka di sisi kekuatan militer yang terlibat dalam konflik geopolitik besar berpotensi menciptakan kerumitan baru. Indonesia, yang menganut prinsip bebas aktif dan tidak memihak blok mana pun, tentu tidak bisa mengabaikan bahwa salah satu eks-prajuritnya kini berpihak pada kekuatan militer asing dalam konflik global.
Refleksi Nasionalisme Baru
Fenomena ini menunjukkan bahwa nasionalisme kini bukan lagi soal lokasi geografis semata. Ia berubah menjadi soal pilihan, loyalitas, dan nilai. Tapi negara tetap perlu memiliki sikap. WNI yang mengabdi ke negara lain terutama dalam konflik terbuka perlu berada dalam kerangka hukum dan etika.
Menjadi tentara asing tidak serta-merta menjadikan seseorang pengkhianat, tapi bukan berarti bebas dari tanggung jawab moral dan hukum. Di seragam negara lain, mungkin mereka bukan lagi tentara kita. Tapi pertanyaan sesungguhnya, apakah kita sudah siap menghadapi realitas diaspora yang makin kompleks?.
Sebagai Insan Kamil, Manusia tidak dilarang mencari kehidupan yang lebih baik melalui proses merantau atau istilah masa nabi dahulu adalah berhijrah, Hijrah tak melulu bermakna kesadaran diri menuju pribadi yang lebih baik, namun hijrah disini adalah makna sebenarnya, dimana berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya yang memang baru demi kehidupan yang lebih baik, persoalan pindah kewarganegaraan atau bahkan ekstrimnya bergabung dengan unit militer negara tujuan menjadi satu hal yang tak bisa dihindari dikemudian hari, hanya saja proses berpindah ini apakah melalui jalur yang benar atau tidak itu yang menjadi persoalan baru, yang harus ditekankan kepada setiap Pemuda Bangsa saat ini adalah, dibalik semua hal sulit yang dihadapi di Ibu Pertiwi, janganlah pernah membenci Bangsa dan Negara ini, mari bersama-sama berharap dan berdoa kedepan Indonesia kembali menjadi besar dan merangkul semua Anak Negeri dengan hangat di negaranya sendiri.

Ketiga Tokoh diatas hanya sebagai Contoh dan realita kehidupan, meskipun motif masing-masing orang berbeda ketika memasuki Dinas Militer Negara Tujuannya, yang menjadi penting adalah sikap kedewasaan kita yang harus menerimanya, dan kelak ketika mereka kembali atau berkunjung menemui saudaranya disini, perlakukan mereka tidak hanya sebagai warga asing yang bertamasya, akan tetapi secara otomatis ada batasan tertentu sebagai Tentara Aktif dari Negara Asing yang berlibur disini.