Daun kratom (Mitragyna speciosa), tanaman yang tumbuh subur di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia, dan Thailand, telah lama digunakan sebagai obat tradisional untuk mengatasi nyeri, kelelahan, dan gangguan pencernaan. Kandungan utama dalam daun ini, yaitu mitragynine dan 7-hydroxymitragynine, memiliki efek analgesik atau pereda nyeri.
Di Indonesia, kratom banyak ditemukan di wilayah Kalimantan, terutama di sepanjang Sungai Kapuas. Potensi ekonominya cukup signifikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada periode Januari hingga Mei 2023, nilai ekspor kratom meningkat sebesar 52,04% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, mencapai USD7,33 juta. Volume ekspor juga tumbuh sebesar 51,49% pada periode yang sama.
Namun, di balik potensi ekonominya, kratom memicu polemik terkait efek kesehatannya. Badan Narkotika Nasional (BNN) mengkategorikan kratom sebagai tanaman yang mengandung zat adiktif, karena dapat menimbulkan efek kecanduan, euforia, serta gejala seperti mual dan muntah jika dikonsumsi dalam dosis tinggi.
Peneliti kratom, Dr. Ari Widiyantoro dari Jurusan Kimia FMIPA Universitas Tanjungpura, berpendapat bahwa bukan pelarangan yang dibutuhkan terkait kratom, melainkan pengawasan lewat aturan resmi Kementerian Kesehatan, mengingat potensi kratom terkait kebutuhan medis. “Cuman masalahnya penggunaannya harus diatur, dosisnya terutama, dan siapa yang harus memakai,” kata Dr. Ari.
Menyikapi kontroversi ini, pemerintah Indonesia telah mengatur tata niaga kratom melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 dan 21 Tahun 2024, yang mengatur komoditas kratom yang boleh diekspor dan yang dilarang. Langkah ini diharapkan dapat mendorong hilirisasi dan peningkatan nilai tambah ekspor kratom, sekaligus memastikan keamanan konsumen.
Dengan regulasi yang tepat dan penelitian lebih lanjut, diharapkan kratom dapat memberikan manfaat ekonomi bagi Indonesia tanpa mengesampingkan aspek kesehatan masyarakat.