
Di musim panas 1947, ketika Imperium Britania akhirnya menyerah pada desakan sejarah dan menarik diri dari anak benua India, dunia menyaksikan bukan hanya kelahiran dua negara, tetapi juga awal dari salah satu konflik paling berlarut dalam sejarah modern. India dan Pakistan, dua bangsa yang lahir dari rahim penjajahan, langsung tenggelam dalam pusaran darah dan bara dendam akibat garis pemisah yang tergesa dan penuh cela.
Penunjukan Sir Cyril Radcliffe sebagai ketua komisi batas dianggap oleh banyak sejarawan sebagai awal dari malapetaka geopolitik. Seorang ahli hukum yang tak pernah menjejakkan kaki di India sebelumnya, tanpa pengalaman akan kompleksitas etnis, agama, dan sejarah wilayah itu, diminta dalam waktu hanya lima minggu untuk membelah tanah yang selama berabad-abad dihuni oleh komunitas-komunitas beragam.
Desakan elite politik
baik dari Partai Kongres India maupun Liga Muslim memaksa Radcliffe menyelesaikan tugasnya tanpa sempat mendalami realitas lapangan. Ketika Garis Radcliffe diumumkan, bukan ketenangan yang lahir, melainkan malapetaka, lebih dari satu juta orang terbunuh dalam kekerasan sektarian, dan sekitar 10 hingga 15 juta lainnya terpaksa mengungsi, menjadikannya eksodus terbesar dalam sejarah modern.
Perang demi Perang Untaian Konflik yang Tak Kunjung Usai

Ketegangan India dan Pakistan tak berhenti di pembagian wilayah. Pada akhir 1947, hanya beberapa bulan setelah kemerdekaan, pecah Perang India–Pakistan pertama. Pemicu utamanya adalah wilayah Kashmir, yang secara geografis terletak di perbatasan dan secara demografis mayoritas Muslim namun diperintah oleh maharaja Hindu. Pakistan mendukung infiltrasi milisi untuk menggulingkan penguasa, sementara India merespons dengan pengerahan militer besar-besaran.
Perang ini berakhir pada 1949 dengan garis gencatan senjata yang ditengahi PBB, tetapi status Kashmir tetap abu-abu. Perang kedua meletus pada 1965, kembali karena Kashmir. India dan Pakistan saling menyalahkan atas pelanggaran gencatan senjata. Meskipun tidak mengubah batas wilayah secara signifikan, perang ini mempertegas kebencian nasionalis di kedua negara.

Tahun 1971 menjadi titik balik
India mendukung perjuangan kemerdekaan Bangladesh (dulu Pakistan Timur), yang berujung pada perang besar dan kekalahan telak Pakistan. Ini bukan hanya kekalahan militer, tapi juga psikologis, karena Pakistan kehilangan setengah wilayahnya. Masuk ke era 1990-an, ketegangan berubah bentuk. India menguji coba senjata nuklir pada 1974, dan Pakistan menyusul pada 1998.
Dunia mulai khawatir
Dua negara bertetangga yang terus berseteru kini sama-sama bersenjata nuklir. Perang Kargil tahun 1999, serangan parlemen India 2001, pemboman Mumbai 2008, semuanya menandai babak baru konflik, dari perang terbuka menjadi konflik bayangan, dengan milisi, intelijen, dan diplomasi sebagai senjata.
Namun api tetap membara di tahun 2025, Ketegangan Memuncak Kembali
Di tahun 2025 ini, konflik memanas lagi, dengan insiden yang lebih berani dan mengkhawatirkan. Dua pesawat tempur milik India, satu Rafale dan satu Sukhoi Su-30MKI dilaporkan ditembak jatuh di wilayah sengketa udara dekat Kashmir utara menurut Konferensi Pers Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif.
Pemerintah India menuding sistem pertahanan udara Pakistan sebagai pelakunya, sementara Islamabad menyebut tindakan itu sebagai “respons terhadap pelanggaran wilayah udara yang agresif.”
Insiden ini langsung menggetarkan kawasan. India melakukan penempatan ulang pasukan di sepanjang Line of Control, dan Pakistan menyiagakan armada udara dan misil jarak menengah. Seruan damai dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan ASEAN hanya mampu menjadi gema lemah di tengah guntur persiapan militer.
Kekuatan Militer Dua Raksasa yang Siaga
Secara militer, India memiliki keunggulan kuantitatif dan teknologi. Dengan lebih dari 1,4 juta personel aktif dan anggaran pertahanan mencapai USD 75 miliar, India memiliki armada tempur canggih termasuk 36 jet Rafale, rudal balistik Agni, dan kapal induk. Pakistan, dengan anggaran sekitar USD 11 miliar dan sekitar 600 ribu personel aktif, mengandalkan efisiensi, serta dukungan teknologi dari China dan Turki. Kedua negara memiliki hulu ledak nuklir: India diperkirakan memiliki 160–170, Pakistan 165–175, dengan sistem peluncuran berbasis darat dan laut.
Namun di balik angka dan senjata, yang paling rentan tetaplah rakyat sipil. Wilayah Kashmir kembali menjadi ladang ranjau bagi masa depan generasi muda yang tak tahu siapa musuh dan siapa saudara.

Penutup: Pelajaran dari Luka Panjang
Sejarah Bangsa-Bangsa Besar tak luput dari hadirnya Konflik, dan yang pada akhirnya Rakyat Sipil menjadi Collateral Damage tanpa bisa dihindari. Menjadi pelajaran bagi Sebuah Bangsa, jangan sampai Kepentingan Bangsanya sendiri ditentukan oleh Bangsa lain, karena dari Pelajaran Sejarah kedua Negara ini adalah memberikan nasib kedaulatannya di tangan Bangsa Asing yang mereka sendiri tak memahami, apalagi mencintai Bangsa Mereka akan berujung pada Konflik tak berkesudahan. (ABS)