Proyek Coretax yang menelan anggaran Rp1,3 triliun kini menjadi perbincangan hangat setelah berbagai fitur dalam sistem ini dilaporkan tidak berfungsi dengan baik. Masalah ini bahkan telah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan penyimpangan dalam pengadaan sistem tersebut.
Sistem yang resmi diperkenalkan pada 1 Januari 2025 ini seharusnya menggantikan sistem perpajakan lama. Namun, karena sering mengalami gangguan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak akhirnya memutuskan untuk mengizinkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) kembali menggunakan aplikasi e-Faktur Desktop guna menghindari kendala dalam penerbitan faktur pajak.
Ketua Komisi XI DPR, Misbakhun, menyatakan bahwa hingga saat ini Ditjen Pajak masih diberikan ruang untuk menyesuaikan sistem yang digunakan, asalkan tidak menghambat penerimaan negara.
“Kami beri kebebasan, apakah mau tetap pakai Coretax, sistem lama, atau kombinasi keduanya, yang penting penerimaan negara tidak terganggu,” ujarnya.
Berdasarkan informasi dari Ditjen Pajak, proyek ini dikerjakan oleh LG CNS-Qualysoft Consortium, yang memenangkan tender senilai lebih dari Rp1,2 triliun. Konsorsium ini bertugas menyediakan solusi perangkat lunak berbasis Commercial Off The Shelf (COTS) untuk menggantikan sistem lama yang telah digunakan sejak 2002.
Sementara itu, Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) telah melaporkan dugaan penyimpangan dalam proyek ini ke KPK. Ketua Umum IWPI, Rinto Setiyawan, menyebutkan bahwa pihaknya telah menyerahkan sejumlah bukti terkait indikasi korupsi dalam pengadaan Coretax untuk periode anggaran 2020-2024.
Menurut Rinto, kejanggalan utama dalam proyek ini adalah tidak berfungsinya berbagai fitur, meskipun sistem ini diklaim sangat canggih dan memiliki biaya yang sangat besar. Bahkan, wajib pajak besar justru tetap diperbolehkan menggunakan sistem lama, yang seharusnya telah digantikan oleh Coretax.
Saat ini, KPK masih menindaklanjuti laporan yang masuk untuk menyelidiki apakah ada unsur korupsi dalam proyek Coretax.