Sistem Pajak Baru, Masalah Lama
Pemerintah menggadang-gadang Coretax sebagai sistem perpajakan modern yang akan meningkatkan efisiensi dan transparansi. Namun, sejak diluncurkan pada 1 Januari 2025, sistem ini justru menuai kritik. Banyak wajib pajak kesulitan mengakses layanan, mengalami gagal login, hingga harus begadang demi menyelesaikan kewajiban pajaknya.
“Baru bisa masuk setelah seminggu mencoba,” ujar Intan, seorang pegawai swasta yang frustrasi menghadapi sistem yang seharusnya mempermudah pekerjaannya. Tidak hanya akses, proses input data faktur pajak pun sering bermasalah.
Dengan anggaran Rp 1,2 triliun, seharusnya sistem ini bisa berjalan lancar. Namun, mengapa malah menjadi sumber kekacauan baru?
Dari Tender Besar Hingga Pengembangan yang Tersendat
Coretax dikembangkan oleh LG CNS-Qualysoft Consortium, anak perusahaan LG Group asal Korea Selatan, setelah memenangkan tender pada 2020. Selain itu, PT Deloitte Consulting ditunjuk untuk menangani manajemen proyek dan jaminan kualitas dengan nilai kontrak Rp 110 miliar.
Seharusnya, sistem ini menggantikan platform lama DJP yang sudah digunakan sejak 2002. Namun, dalam perjalanannya, proyek ini menghadapi berbagai tantangan. Awalnya, pengembangan dilakukan oleh tim dari Eropa, tetapi di tengah jalan sebagian pekerja digantikan oleh tenaga dari Vietnam dan beberapa tenaga lokal.
Teknologi yang Tak Sesuai dan Server yang Lemah
Salah satu biang kerok utama kegagalan Coretax adalah penggunaan Tibero, sistem database dari Korea Selatan yang kurang familiar di Indonesia. Mayoritas pengembang lokal lebih terbiasa dengan MySQL, PostgreSQL, atau Oracle. Akibatnya, banyak kendala dalam pengelolaan data, terutama saat proses migrasi dari sistem lama ke Coretax.
Lebih parahnya, server yang digunakan ternyata tidak mampu menampung beban data perpajakan nasional. “Saat migrasi, database langsung tumbang,” ujar seorang pengembang yang terlibat dalam proyek ini.
Tak hanya itu, Coretax juga mengalami gangguan saat harus terhubung dengan sistem pendukung dari kementerian lain. Contohnya, sistem Dukcapil Kemendagri sering mengalami gangguan ketika diakses oleh Coretax, begitu pula dengan sistem di Kemenkumham dan Ditjen Imigrasi.
Tambal Sulam di Menit-menit Terakhir
Menjelang peluncuran, tim lokal harus bekerja ekstra keras memperbaiki puluhan bug yang masih muncul. “Tampilannya awalnya masih seperti sistem jadul tahun 2000-an, kotak-kotak dan tidak user-friendly,” kata salah satu pengembang.
Ironisnya, di detik-detik terakhir sebelum rilis, justru tenaga lokal yang harus menyempurnakan sistem ini. Tim yang terdiri dari sekitar 20 orang bekerja keras di kantor DJP untuk menangani berbagai permasalahan yang seharusnya sudah tuntas jauh sebelum peluncuran.
DPR Turun Tangan, Coretax Dijalankan Bersamaan dengan Sistem Lama
Melihat kekacauan ini, DPR meminta DJP untuk kembali menggunakan sistem perpajakan lama sebagai langkah mitigasi agar penerimaan pajak negara tidak terganggu. DPR juga merekomendasikan DJP untuk memperbaiki sistem Coretax secara bertahap dan meningkatkan keamanan siber agar tidak menimbulkan masalah lebih besar di kemudian hari.
Tak hanya itu, DPR menegaskan bahwa wajib pajak tidak boleh dikenakan sanksi akibat gangguan sistem. Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui bahwa membangun sistem perpajakan digital dengan miliaran transaksi bukanlah hal mudah. “Kami sadar ada keluhan dan akan terus melakukan perbaikan,” ujarnya.
Mahal, Tapi Belum Maksimal: Apa Selanjutnya?
Meski sudah menghabiskan anggaran Rp 1,2 triliun, Coretax masih jauh dari kata sempurna. Kini, pertanyaannya: apakah sistem ini bisa benar-benar menjadi solusi, atau justru akan terus menjadi blunder mahal yang membebani negara?