Hubungan antara Iran dan Amerika Serikat kembali memanas setelah Presiden Iran Ebrahim Raisi menyampaikan pernyataan tegas yang menyulut sorotan global. Dalam pidatonya yang disiarkan secara nasional pada 11 Maret 2025, Raisi menolak kemungkinan berunding dengan mantan Presiden AS, Donald Trump, dan menyebut bahwa tidak ada ruang untuk negosiasi antara kedua pihak.
“Saya tidak akan duduk di meja perundingan dengan Trump. Jika dia ingin bertindak sesuka hati, silakan saja. Kami tidak takut,” ujar Raisi dalam pidato publiknya di Teheran. Pernyataan itu disampaikan di tengah spekulasi bahwa Trump, yang tengah menjalani kampanye untuk kembali maju sebagai Presiden AS, mungkin akan menghidupkan kembali tekanan terhadap Iran jika terpilih.
Raisi juga menegaskan bahwa Iran tetap teguh mempertahankan kedaulatan dan tidak akan tunduk pada tekanan luar. “Rakyat kami telah bertahan dari sanksi dan intimidasi selama bertahun-tahun. Kami tak akan menggadaikan prinsip hanya demi kompromi politik,” katanya. Ia mengajak negara-negara lain untuk tidak lagi tunduk pada agenda sepihak yang dilancarkan oleh kekuatan besar dunia.
Sejumlah analis internasional dari media seperti The Guardian, CNN, Al Jazeera, BBC, France24, Deutsche Welle, AP News, The New York Times, Politico, dan Washington Post melihat pernyataan Raisi sebagai sinyal bahwa ketegangan antara kedua negara masih jauh dari kata reda. Bahkan, banyak yang memprediksi bahwa jika Trump kembali ke Gedung Putih, konfrontasi bisa kembali meningkat tajam, mengingat rekam jejak kebijakan luar negerinya terhadap Teheran.
Menanggapi pernyataan tersebut, mantan penasihat keamanan nasional AS John Bolton menyebut bahwa Iran sedang memainkan retorika populis untuk memperkuat posisi dalam negeri. “Itu bukan sekadar pernyataan diplomatik, tapi strategi dalam negeri Raisi untuk menunjukkan ketegasan di hadapan rakyatnya,” ujarnya dalam wawancara dengan salah satu stasiun berita AS.
Pernyataan keras ini menandai babak baru ketegangan antara dua negara yang selama ini sudah penuh dinamika. Dunia kini menanti bagaimana respons dari pihak Amerika Serikat, terutama jika Trump kembali berada di panggung kekuasaan. Situasi ini sekaligus menunjukkan bahwa stabilitas geopolitik global masih sangat rentan terhadap manuver politik individu yang punya pengaruh besar.