Langit Gaza kembali dipenuhi asap hitam dan suara ledakan menggema tanpa henti. Serangan udara intensif yang dilancarkan Israel dalam beberapa hari terakhir telah merenggut nyawa 436 warga sipil. Yang memilukan, 183 di antaranya adalah anak-anak—generasi masa depan yang belum sempat bermimpi.
Situasi kemanusiaan di wilayah tersebut makin memburuk. Warga sipil menjadi korban paling rentan di tengah konflik berkepanjangan yang belum juga menemukan titik akhir. Rumah sakit kewalahan menampung korban luka, dan fasilitas medis mulai kehabisan persediaan. “Kami tak punya cukup tenaga dan obat-obatan untuk merawat semua yang terluka,” ujar Dr. Mahmud, seorang dokter di Rumah Sakit Shifa, Gaza.
Laporan dari berbagai lembaga kemanusiaan internasional seperti Human Rights Watch dan Save the Children menyebut bahwa banyak korban tewas karena serangan yang menghantam wilayah padat penduduk. Bahkan sekolah-sekolah dan tempat penampungan sementara ikut hancur. Mereka mempertanyakan komitmen komunitas global dalam menegakkan prinsip-prinsip perlindungan terhadap warga sipil dalam konflik bersenjata.
Di sisi lain, Israel berdalih bahwa serangan tersebut ditujukan untuk menumpas militan yang bersembunyi di balik infrastruktur sipil. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan dampak yang sangat besar terhadap warga yang tak bersalah. “Kita tak bisa menerima alasan militer untuk membenarkan kematian ratusan anak-anak,” tegas Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB dalam pernyataan terbarunya.
Tragedi ini menjadi pengingat betapa cepatnya nyawa melayang di wilayah konflik. Namun, dunia seakan terbiasa dengan angka-angka kematian yang terus meningkat. Saat Gaza kembali berduka, pertanyaan besar masih menggantung: sampai kapan dunia hanya menjadi penonton? “Kami bukan statistik. Kami manusia yang terus kehilangan segalanya,” ujar Amina, seorang ibu yang harus mengubur dua anaknya di hari yang sama.